Sakramen Perkawinan
Sakramen
Pernikahan adalah suatu sakramen yang
mengkonsekrasi penerimanya (pasangan pria dan wanita) untuk suatu misi khusus
dalam pembangunan Gereja dan menganugerahkan rahmat demi perampungan misi
tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang
menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu
ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah.
Pernikahan sah
sakramental antara seorang pria yang
sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis dan telah disempurnakan
dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan dan bersifat monogam. Karena mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Sakramen ini
menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan
untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk
menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang
ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya
Demi kesahan
suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus (1) terbebas dari
halangan nikah, (2) ada konsensus atau
kesepakatan kedua belah pihak. Masing-masing calon mengutarakan niat dan persetujuan-bebas
(persetujuan tanpa paksaan) untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa
memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. (3) Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan.
1108-1123) atau tata peneguhan. Suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan
tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.
Jika salah satu dari
keduanya adalah seorang Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya
dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam
Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam
arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi
sahnya pernikahan.
Hak atas tubuh
suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran
anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian
atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self).
Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh),
melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona). Perkawinan juga bisa di
definisikan sebagai berikut: Lembaga dimana pria dan wanita bergabung dalam
sebuah kemandirian legal dan sosial dengan tujuan untuk mendirikan dan
memelihara sebuah keluarga. Dalam agama Katolik terdapat paham dasar perkawinan
yang meliputi:
a.Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari
kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi,
perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan)
suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama
seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah.
Konsekuensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun
kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas
dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar
pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
b.Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya
perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae.
“Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius
vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan.
Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir
hayat.
Kebersamaan suami istri
itu terjadi dalam seluruh hidup sehingga keduanya bisa senasib-sepenanggunggan.
Kebersamaan seluruh hidup ini tidak hanya
kuantitatif, “seumur hidup sampai mati” tetapi juga secara kualitatif seperti
terungkap dalam janji perkawinan,
“Di hadapan Allah aku
menerima engkau sebagai istriku/suamiku, aku berjanji setia kepadamu, dalam
suka duka, dalam keadaan sehat dan sakit, sampai kematian memisahkan kita, aku
mau mencintai engkau, menghormati dan menghargai engkau, sepanjang hidupku.”
Hal ini juga
diungkapkan secara simbolis dalam upacara saling menerima cincin, “terimalah
cincin ini sebagai lambang cinta dan kesetiaanku padamu”. Larangan bercerai ini
mempunyai dasar yang kokoh pada penegasan Tuhan Yesus sendiri atas kehendak
Allah dari semula. “Apa yang dipersatuka Allah tidak boleh diceraikan manusia”
(Mrk 10:9).
c.Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita
diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling
membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej
2:24).
Gereja Katolik hanya
mengakui perkawinan antara pria dan wanita. Pria dan wanita yang menikah itu
harus hidup bersama. Memang adakalanya karena tugas suami dan istri terpisah
untuk sementara waktu. Banyak kesulitan yang dialami oleh paangan suami istri
yang hidup terpisah lama, oleh karena itu sebisa mungkin diupayakan agar suami
istri dapat hidup bersama.
Pria dan wanita yang
saling memilih untuk menjadi temam hidup sebagai suami istri, tentulah
dilandasi rasa saling menyintai. Rasa tertarik pada seseorang, mencintainya,
kemudian memilihnya menjadi pasangan hidup merupakan suatu anugerah yang saling
diberikan secara bebas.
d.Sifat Kodrati Keterarahan Kepada Kesejahteraan
Suami-Istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan
yang diajarkan St. Agustinus, yakni:
1) Bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan
ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak,
2) Bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada
sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan
3) Bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada
sifat permanensi perkawinan; gaudium et spes no. 48 menambah lagi satu “bonum”
yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
4)
Sifat Kodrati
Keterarahan kepada Anak
Perkawinan terbuka
terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan
prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi
berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai
aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum)
e.Perkawinan Sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani
bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling
memberikan konssesnsus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah
sekaligus sakramen.
Dalam agama Kristen
Katolik hanya mengenal paham monogamy yang bertitik tolak dari matabat pribadi
manusia. Dalam Kej 2:8-25, dikisahkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Itu berarti wanita mempunyai kesejajaran dengan laki-laki, wanita
diciptakan sebagai penolong yang sepadan (Kej 2:18). Sebagai manusia pria dan
wanita memiliki kesamaan martabat pribadi. Bahkan Rasul Paulus dengan berani
menulis: “Di dalam Kristus tidak ada pria dan wanita” (gal 3:28).
Dari paham kesamaan
martabat pribadi pria dan wanita ini mengalir sifat perkawinan: monogamy. Bila
istri mencintai suaminya 100% semestinya demikian pula sebaliknya. Praktek
poligami menggadaikan martabat wanita lebih rendah daripada laki-laki.
Secara eksplisit
alkitab memang tidak menyebut soal monogamy, bahkan terkesan perjanjian lama
menolelir poligami para tokoh perjanjian lama. Namun dalam perjanjian baru, Tuhan
Yesus menganggap perkawinan orang yang sudah cerai sebagai zinah. Hal ini
menggadaikan monogamy sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang dibenarkan
oleh Tuhan Yesus.
“Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia
menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang
diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat : 5 : 32)
Perkawinan secara
Katolik tidak bisa dilangsungkan secara mendadak dan dalam waktu singkat. Ada
banyak prosedur yang mesti dilewati dan berbgai persyaratan yang harus
dilengkapi dan hal ini tidak dimaksudkan untuk mempersulit umat, melainkan
untuk keabsahan perkawinan dan keagungan perayaan perkawinan gerejani. Hal ini
meliputi; pendaftaran ke paroki, perlengkapan administrative, kursus
perkawinan, penyelidikan kanonik, gladi bersih dan sakramen tobat.
Fungsi
Perkawinan
Ada tiga hal yang penting dalam fungsi perkawinan:
1. Fungsi keagamaan
Karena Allah memandang
bahwa manusia seorang diri tidak baik Maka dari itu Allah memerintahkan mereka
untuk bersekutu dan bersatu, oleh sebab itu dorongan dan hasrat hati manusia
untuk bersatu (kawin) adalah kuat kemudian dorongan dan hasrat manusia untuk
bersatu dan bersekutu diikat dalam sebuah perkawinan.
Perkawinan yang
sempurna adalah kesatuan antara tiga pribadi seorang pria, seorang wanita, dan
Allah! Inilah yang membuat perkawinan menjadi kudus. Iman dalam Kristus adalah
bagian terpenting dari semua prinsip penting lainnya untuk membangun suatu
perkawinan dan rumah tangga yang bahagia. "Perkawinan adalah perintah
Allah yang di firmankan:
“Maka Allah menciptakan
manusia menurut gambarNYA, menurut gambar Allah diciptakaNYA dia laki-laki dan
perempuan diciptakanya mereka. Allah memberkati mereka , lalu Allah berfirman
kepada mereka beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan
taklukaalah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung diudara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. (Kejadian 1:26-28)
2.Fungsi Cinta Kasih
Sudah menjadi kodrat
manusia bail laki-laki maupun perempuan untuk mengenal cinta serta ingin
mendapatkanya. Bagi manusia cinta adalah sesuatu yang teramat mahal harganya.
Dengan cinta manusia akan hidup
bersemangat. Digambarkan cinta itu bagaikan api yang kuat membara.
Air yang banyak tak
dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun
orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan
dihina (Kid. 8:7)
St. Paulus yang
menyatakan bahwa saling cinta kasih
suami istri adalah sebagai lambang kesatuan mesra antara Kristus dan gerejanya.
Kasih kristus terhadap umatnya digambarkan Rasul Paulus sebagai kasih seorang
suami terhadap istrinya. Tuhan Yesus adalah sang pengantin pria, yang dalam
perjanjian lama dinyatakan sebagai suami bangsa Israil.
3.Fungsi Reproduksi
Fungsi yang
merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dan dapat
menunjang terciptanya kesejahteraan manusia hal ini di ungkapakan oleh tuhan
Allah dalam firmaNYA: Lalu Allah berfirman kepada mereka beranak cuculah dan
bertambah banyak.(Kej 1:27)
Tujuan
Perkawinan
Perkawinan merupakan
perjalanan bersama suami istri. Perjalanan itu memiliki tujuan. Tujuan inilah
yang menentukan arah dan apa saja yang musti diupayakan agar tujuan itu
tercapai. Gereja mengajarkann tujuan perkawinan sebagai berikut:
1.Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum)
Dalam perkawinan suami
istri mau dan berupaya untuk salingb menyejahterakan pasangan (dan anak-anak).
Hal ini berarti mengupayakan apa yang terbaik bagi pasangannya baik jasmani maupun
rohani.
Berkaitan dengan kesejahtaraan suami
istri ini, gereja tidak mengajarkan bahwa perkawinan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan biologis, yang akhirnya bisa mengizinkan bercerai atau berpoligami
manakala tujuan ini tidak tercapai. Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan
bahwa persetubuhan dalam perkawinan merupakan ungkapan cinta yang puncak (masih
ada pelbagai ungkapan cinta lain) dan khas dari suami istri .
2.Terarah Pada Prokreasi (Kelahiran) dan Edukasi
(Pendidikan) Anak
Kata “terarah kepada” kelahiran anak berarti
mereka yang hendak menikah harus mau mempunyai anak. Sama sekali tidak
dibenarkan perkawinan orang yang sengaja tidak mau mempunyai keturunan.
Perkawinan Katolik mesti terbuka dengan anak yang di anugerahkan tuhan. Apakah
nanti dianugerahi anak oleh tuhan atau tidak itu hal lain, sebab anak bukanlah
hak suami istri yang bisa dituntut kepada tuhan. Tujuan perkawinan dirumuskan
dengan “terarah kepada” kelahiran anak, bukan untuk mengadakan keturunan. Sebab
bila tujuan ini tidak tercapai-perkawinan tidak membuahkan keturunan- kemudian
orang bisa bercerai atau berpoligami.
Suatu anugerah tentu sekaligus mengandung
tugas. Demikian juga anugerah anak menuntut tugas dan tanggung jawab orang tua
untuk mendidik secara Katolik. Dalam pelaksanaanya tentulah mereka akan dibantu
oleh gereja dan masyarakat (sekolah).
Ciri-Ciri
Pernikahan Kristiani
1. Rencana Allah yang sempurna, Allah adalah kasih
ketika Ia menjadikan dunia ini, maka segala sesuatu dijadikan-Nya dengan
sempurna supaya manusia dapat hidup dengan bahagia. Ia menciptakan seorang
laki-laki yaitu Adam dan Allah berfirman” Tidak baik kalau manusia itu seorang
diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”(Kej
2:18-24) Lalu Ia menciptakan seorang perempuan yaitu Hawa untuk menjadi teman
dan isteri Adam. Bila Tuhan Yesus ditanya tentang pernikahan, maka jawab-Nya
ialah bahwa pernikahan kita harus menurut rencana Allah seperti Adam dan Hawa.
Yesus mengutip dari Kitab Suci, ”sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging,
dan Yesus menambahkan, karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan manusia” (Mat 19:4-6). Pernikahan yang sesuai dengan rencana Allah adalah
pernikahan yang paling baik, tidak dapat dibandingkan dengan pernikahan
manapun.
2. Rumah tangga kristen, Allah adalah kasih Ia
menciptakan kita menurut gambar Dia, jadi kita juga memiliki sifat mengasihi.
Allah menghendaki agar kita menikmati pengalaman cinta kasih dalam pergaulan
kita sehari-hari dengan sesama kita. Pengalaman kasih yang paling mendalam yang
dapat kita nikmati di dunia ini ialah kasih antara suami dan isteri. Alkitab
mengatakan bahwa suami harus mengasihi isterinya, ”sebagaimana Kristus telah
mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”(Ef 5:25) Ini
menunjukkan betapa indah dan dalamnya cinta kasih yang terjalin antara
suami-isteri dan ini tak akan mungkin terjadi apabila suami harus memberikan
kasihnya kepada beberapa isteri, Kasih yang penuh itu hanya dialami, bila suami
dan isteri memutuskan untuk saling mengasihi dalam suka - duka, kaya - miskin,
sehat – sakit dan sampai kematian memisahkan mereka. Dalam rumah tangga
demikian anak-anak bertumbuh dengan terlindung dan terjamin, karena dikelilingi
cinta kasih yang sempurna.
3. Bagi Allah tak ada yang mustahil, amat sukarkah
untuk mempunyai rumah tangga seperti di atas? Yang paling baik itu paling sukar
untuk dicapai. Laki-laki dan perempuan yang menikah secara kristen itu tentu
akan mendapat kesukaran-kesukaran dan godaan-godaan. Tapi tak ada sesuatu yang
mustahil bagi Allah. Allah memberikan kita suatu rencana pernikahan yang
sempurna, maka Ia dapat pula memberikan kita kekuatan untuk mentaati
rencana-Nya. Dengan demikian, mereka yang menemukan kehidupan baru di dalam
Yesus Kristus akan memiliki Roh Allah sendiri yang dicurahkan kedalam hati
mereka. Mereka akan benar-benar mengetahui rahasia cinta kasih yang sempurna.
Strategi Penyelesaian
Konflik Suami Istri dalam Agama Katolik
1.Konflik Suami Istri
Mempunyai
keluarga yang harmonis dan sehat jiwa raga adalah idaman setiap orang. Di dalam
keluarga seperti inilah setiap anggota akan mempunyai rasa sukacita, saling
memiliki, saling mendukung, dan aman. Apalagi jika kasih Kristus melandasi
kehidupan keluarga, maka keluarga tersebut adalah keluarga yang
sempurna.Perkawinan adalah jalan satu-satunya bagi pasangan untuk dapat hidup
dalam satu keluarga tersendiri. Dan dengan perkawinan inilah berarti pasangan
siap menyatukan dua pribadi yang berbeda yang memiliki latar belakang yang
berbeda. Merupakan hal yang wajar jika dalam menyatukan dua pribadi yang
berbeda ini sepasang suami istri mengalami hambatan dan rintangan dalam
perjalananya menuju mahligai kebahagian dalam kristus. Agama Katolik memberikan
perhatian besar kepada urusan keluarga karena keluarga berperan penting dalam
membentuk pribadi yang taat dan kuat.
Kepercayaan kepada
Allah memainkan peran penting dalam memperkokoh ikatan dan kasih sayang dalam
keluarga. Orang yang mempunyai kepercayaan pada agama akan lebih berpegang
teguh kepada janji atau ikatan perkawinan. Iman kepada Tuhan akan memberikan
kesabaran dan keteguhan kepada manusia dalam menghadapi tekanan kehidupan dan
memelihara diri dari pengkhianatan terhadap pasangan mereka.
Dalam kehidupan berumah
tangga sepasang suami istri akan selalu mendapati batu sandungan yang berupa
konflik (pertengkaran). Bahkan pasangan yang paling bahagiapun mendapati diri
mereka saling bertentangan dari waktu ke waktu. Konflik suami istri adalah
salah satu wilayah “di luar batas” sesuatu yang tak satupun pasangan ingin
memikirkanya secara berlebihan. Setiap pasangan lebih suka konflik (pertengkaran)
tidak pernah terjadi.
Setiap pasangan akan
selalu berpikir bahwa diri mereka tidak pernah bertengkar, tidak pernah kecewa
dan marah, dan dapat memasuki kebahagiaan abadi dalam kristus tanpa ada
kesedihan. Namun, walaupun Yesus ada dalam bahtera keluarga setiap penganut
Katolik, bukan berarti tidak akan ada badai, ombak, maupun gelombang yang
datang dan mengguncangkan keluarga.
Konflik akan selalu muncul dalam samudra kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini
penganut katolik harus berbangga, karena mempunyai ajaran agama yang begitu
melindungi umatnya, serta mengatur hal perkawinan dengan begitu detail dan
memadai.
2. Penyelesaian Konflik
Ketika dua kehidupan
dipersatukan bersama dalam suatu hubungan intim jangka panjang dalam lembaga
perkawianan, maka sewaktu-waktu akan selalu muncul masalah. Banyak pasangan
memasuki perkawinan hanya dengan sedikit persiapan untuk menghadapinya.
Kadang-kadang mereka kurang memiliki kedewasaan emosional, kemantapan atau keluwesan,
yang harus dimiliki.
Maka dari itu hendaklah
pasangan Katolik hendaknya mengetahui, memahami serta dapat mengmalkan
unsur-unsur pembentuk suatu perkawinan yang baik yaitu:
1.Saling menghormati.
Saling menghormati
berarti masing-masing menerima pasangannya
sebagaimana adanya, tidak berusaha memperalat, membantu pasangannya untuk bertumbuh sesuai rencana
Allah dengan tidak mementingkan
dirinya sendiri, saling menghargai, membedakan antara yang ideal dan yang merupakan kenyataan,
serta tidak menuntut terlalu banyak,
alkitab berkata: "Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya."
(Efesus 5:33)
2.Penyerahan diri yang tulus
Hakekat janji yang
diucapkan dalam pemberkatan nikah ialah penyerahan diri secara tulus, satu
kepada yang lain, sambil meninggalkan segala hal lainnya. Alkitab berkata: "Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24).
Waktu dan pengalaman
membuktikan bahwa "menjadi satu daging" dalam perkawinan, tidak
berarti pelepasan kepribadian atau hak-hak pribadi. Justru penyerahan diri yang
memperkaya kepribadian keduanya.
3.Komunikasi yang baik
Agar dapat berkomunikasi, harus ada pengertian
tentang perbedaan-perbedaan emosional, mental dan jasmani, antara pria dan
wanita. Perlu dikembangkan suasana persahabatan. Percakapan,bukan saja
berdiskusi ketika muncul perbedaan, tetapi pertukaran informasi yang berarti,
baik dalam tingkat intelektual maupun emosional.
4.Waktu dan usaha
Kasih harus diberi
kesempatan untuk tumbuh dewasa. Suasana untuk itu, terdapat dalam Firman Tuhan.
Ketika perjalanan hidup menjadi berat, pasangan tersebut tidak "membuang
cinta" mereka; tetapi mereka bertahan bersama dan berusaha
menyelesaikannya.Mereka tidak menganggap diri mereka "korban" dari
"salah perhitungan", tetapi "teman pewaris kasih karunia".
(1Petrus 3:7)
5.Kesatuan rohani
Mengerti dimensi rohani
dalam perkawinan akan membawa dampak yang dalam. Paulus membandingkan
perkawinan-kesatuan suami dan istri-dengan hubungan kekal antara Kristus dan
Gereja.
Konflik suami istri
adalah hal yang wajar dalam rumah tangga, bahkan kalau kita mau mengkaji lebih
jauh, disamping konflik berakibat buruk, di sisi yang lain konflik juga
bermanfaat bagi pasangan suami istri. Dengan konflik-konflik keluarga yang
terjadi maka satu dengan yang lainnya bisa lebih saling mengenal dan memahami
sifat serta keinginan masing-masing. Ini sangat berguna dalam proses adaptasi
bagi pasangan rumah tangga. Terlebih itu merupakan pasangan baru.
Tetapi sisi buruk dari
konflik akan muncul seiring dengan ketidakmampuan mengendalikan dan
menyelesaikan sebuah konflik. Rasa tidak puas bahkan sakit hati akan
menyelimuti pihak yang berkonflik. Ini bisa mengganggu hubungan pasangan
tersebut.
Perkawinan bukan hanya
puncak dari sebuah kisah cinta. Bukan pula sekedar perwujudan dari cinta dua
anak manusia. Esensi perkawinan melampaui itu semua. Perkawinan atau perkawinan
adalah wujud dari misi Allah bagi manusia. Perkawinan digagas sendiri oleh
Allah. Di jelaskan dalam Kejadian I:27-28:
Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka. Allah memberkati mereka, lalu
Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.
Jika dua orang
berkomitmen menikah, maka ada berkat Allah di sana. Berkat itu
macam-macam,bukan saja materi tetapi juga sukacita, bahagia dan sebagainya. Ada
damai sejahtera dari Allah. Kalau sampai tidak merasakan berkat atau damai
sejahtera ini dalam sebuah keluarga berarti ada sesuatu yang salah.
Meskipun perkawinan
adalah menyatukan dua pribadi dengan dua latar belakang dan nilai yang berbeda,
perkawinan tetap merupakan komitmen di hadapan Allah. Sebuah komitmen yang
membutuhkan ketaatan untuk menjaganya.
Konsekuensinya apapun
konflik yang dialami dan seberat apapun konflik itu, sepasang suami istri harus
melaksanakan ketaatan untuk menjaga kesatuan. Ada 3 kesatuan yang harus dijaga
oleh pasangan suami isteri Katolik, yaitu :
1.Kesatuan Fisik
Kesatuan ini pada
pasangan suami istri terwujudkan dalam hubungan seksual. Dalam hubungan suami
isteri, seks itu penting tetapi bukan segalanya. Konflik akan muncul jikalau
umur perkawinan semakin tua sehingga intensitas hubungan seks tidak lagi
menjadi hal penting. Banyak pasangan yang merasa hambar karena merasa sama-sama
sudah tua. Bisa jadi salah satu (baik suami atau isteri) masih mau melakukan hubungan
seks tetapi pasangannya malas dengan berbagai macam alasan. Ini berbahaya.
Sesungguhnya dalam
hubungan seks mempunyai banyak fungsi. Ada bersifat prokreasi, dimana hubungan
seks dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan anak atau keturunan. Rekreasi, hubungan
seks dilakukan untuk memperoleh kesenangan atau kenikmatan. Dan yang tak kalah
pentingnya adalah fungsi relasi. Dimana seks dilakukan untuk meningkatkan
hubungan suami dengan isteri agar lebih mendalam. Seks dilakukan untuk
membentuk dan memperkokoh lembaga perkawinan.
2.Kesatuan Jiwa
Kesatuan yang kedua
adalah kesatuan secara jiwa, meskipun perkawinan itu pada dasarnya adalah
menjadi satu tetapi masing-masing tetap mempunyai latar belakang dan nilai yang
berbeda. Disinilah pasangan harus menjaga kesatuan jiwa agar jangan muncul
konflik, intinya, suami dan istri harus saling menyenangkan. Seperti yang
tertulis dalam I Korintus 7 : 4, 33-34: Lakukan apa yang suami atau isrimu
senangi dan jangan melakukan apa yang suami atau istrimu tidak senang.
3.Kesatuan Secara Roh
Ini agak komplek sebab
berhubungan dengan Allah. Disinilah alasan mengapa perkawianan dengan perbedaan
iman akan menemui masalah kelak. Karena cara memahami Allah dan berpikir serta
bersikap dalam kehiduapan sehari-hari sangat berkaitan. Jika amat berbeda
konflikpun cepat tersulut.
Bagi pasangan yang
berbeda gereja juga harus segera menetapkan dimana mereka akan bergereja. Boleh
mereka beda gereja tetapi pasca perkawinan, mereka harus menentukan satu gereja
dimana mereka akan bertumbuh. Ketidakmampuan menjaga ketiga kesatuan ini akan
menjadi pemicu sebuah konflik. Jika mampu menjaga kesatuan fisik, jiwa dan roh,
dalam kehidupan rumah tangga maka sisi konflik yang buruk bisa dikendalikan.
Dalam banyak literature
katolik banyak dijelaskan strategi-strategi dalam menghadapi konflik yang
terjadi antara suami istri, seperti yang di jelaskan seorang pakar Marriage
Encounter katolik, Paulus Subiyanto bahwa :
1.Jangan menghina
Menghina berarti merendahkan pasangan dengan
tujuan untuk menyakiti. Bentuk penghiaan bisa berupa ejekan sinis seperti
“dasar orang kampung !”, “sulit ngomong sama orang tak berpendidikan ”,
“goblok!”, “kampungan!” hinaan-hinaan semacam ini bukan hanya melukai pasangan,
namun bisa “membunuh” atau merusak kepribadian.kritik hendaknya hanya tertuju
pada pendapat dan pikirannya bukan pada pribadi orangnya. Berfirman Allah : Hendaklah
kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam
hal saling membantu. (Ef. 4:2) Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran,
dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.(Ams. 22:10)
2.Jangan melarikan diri
Ketika pasangan
bertengkar, jangan melarikan diri baik secara fisik dengan lari dari rumah
maupun secara psikis yakni menghindari masalah. Kalau suami atau istri benar-benar
sudah tidak tahan lagi dan cenderung saling menyakiti, sebaiknya ungkapkan
terus-terang, “kelihatannya aku perlu udara segar sebentar” atau “bagaimana
kalau kita berhenti sejenak untuk menenangkan diri?” sentuhan-sentuhan mesra
akan mendiinginkan emosi, dan menyadarkan pasangan bahwa anda tetap
mencintainya. Kembali pada masalah awal, rumuskanlah kembali seperti pada awal
pembicaraan. Sering kali pokok persoalan sudah bergeser jauh, apa yang semula
kita tuntut dan sudah dipenuhi oleh pasangan, namun kita mencari masalah dan
tuntutan baru lagi. Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi
perkataan yang pedas membangkitkan marah. (Ams. 15:1)
3.Jangan menggunkan kata-kata ekstrim
Sering kali tanpa sadar
dalam pertengkaran kita menghakimi pasangan secara tidak fair dengan kata-kata
seperti, “kau selalu meremehkan aku” Kata-kata seperti itu di samping tidak
realistic, juga meniadakan hal-hal positif yang pernah (bukan sering) dilakukan
pasangan. Daripada “menuduh” lebih baik anda “meminta” seperti, “aku ingin kau
mengerti aku lebih baik”; dan lain-lain. Tuhan berkata: Jawaban yang lemah
lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.
(Ams. 15:1) Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram,
kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. (Kol. 3:8)
4.Jangan mengungkit masa lalu
Godaan terbesar dan
termudah saat pertengkaran adalah mengungkit kesalahan masa lalu untuk
mengalahkan pasangan. Namun dengan cara demikian, anda kehilangan kepercayaan
dari pasangan di masa mendatang. Besar kemungkinan persoalan bergeser ke
masalah masa lalu yang dulu sudah terselesaikan. Orang memang tidak bisa
berkutik bila berhadapan dengan kesalahan masa lalu, namun anda tidak boleh
memanipulasi kelemahan pasangan untuk memenangkan pertengkaran.
5.Jangan memanggil pihak ketiga
Pada saat anda
bertengkar, hindari kehadiran pihak ketiga siapapun dia. Yang punya masalah
adalah anda dan pasangan. Pihak ketiga bisa dimintai tolong membantu, namun
tidak pada saat pertengkaran. Selesai atau tidak masalahnya, pertengkaran harus
anda selesaikan sendiri dengan pasangan. Dorongan memasukan orang ketiga karena
kita ingin meyakinkan bahwa pasangan salah.
6.Bukan pengadilan
Pengadilan selalu
mengandaikan ada yang menang ada yang kalah, ada yang benar dan salah. Yang
dicari dalam pertengkaran suami-istri adalah kemenangan bersama melalui saling
mengerti dan menerima. Pertengakaran tidak perlu saksi- pihak ketiga- untuk
menjadi wasit, suami dan istri sendirilah wasit yang memutuskan kapan akan
berhenti atau terus. Menyerang dengan mengungkapkan kekurangan dan kelemahan
pasangan justru memancing untuk membela diri dan balas menyerang.
7.Ingat bahwa pasangan kita lebih penting daripada
masalahnya
Inilah dalil utama
setiap pertengkaran yang harus dipegang oleh suami-istri : orangnya lebih
penting daripada masalahnya. Pasangan anda jauh lebih berharga daripada
“kemenangan” atau “kebenaran” yang anda peroleh. Apa artinya anda berhasil
memenangkan kebenaran pendapat jika pasangan anda terluka? Ingatlah bahwa
pertengkaran adalah salah satu bentuk komunikasi, yang buahnya harus berupa
“kebersatuan”, bukan penjauhan atau perpecahan.
8.Ungkapkanlah luka-luka yang selama ini terpendam
Pertengkaran bisa
menjadi kesempatan untuk mengungkapkan luka-luka yang selama ini terpendam.
Suasana emosional akan mendorong orang terbuka mengungkapkan kekecewaan,
keinginan terpendam, dan kebutuhan psikologis yang diharapkan pasangan bisa
dipenuhi. Orang benar-benar bisa bobol benteng persembunyiannya, dan keluar apa
adanya”. Justru inilah kesempatan untuk memperlihatkan kepada pasangan siapa
diri anda sesungguhnya. Dalam kondisi seperti ini, pasangan harus berani
mendengarkan sebaik mungkin, inilah kesempatan baginya untuk mengenal siapa
pasangannya.
9.Mengungkapkan perasaan terdalam
Untuk mengungkapkan
perasaan terdalam, orang takut mengambil resiko ditolak atau terlukai. Namun
dalam pertengkaran, resiko itu sudah diterima, tak ada lagi yang perlu
ditakutkan. Ungkapan perasaan anda yang terdalam, yang mungkin selama ini tak berani disampaikan, tentu
tanpa harus menuduh dan menyalahkan pasangan. Perasaan itu milik anda sendiri,
ungkapkan dengan subyek AKU bukan KAU.
10.Tidak ada
jalan lain selain saling mengampuni
Entah kadarnya berapa,
setiap pertengkaran bisaanya menggoreskan luka kendati persoalan sudah
terselesaikan. Sisa-sisa luka ini harus disembuhkan melalui saling mengampuni
baik secara verbal maupun nonverbal. Peluklah dengan hangat da katakana
“maafkan aku” tanpa perlu penjelasan apa-apa katakana juga bahwa anda sangat
mencintainya dan membutuhkannya. perkawinan sebagai relasi antar pribadi yang
paling mendalam tak mungkin tanpa pengampunan, sama halnya tak mungkin
menghindari luka-luka. Oleh sebab itu, setiap pertengkaran harus diakhiri
dengan saling mengampuni, tidak peduli apa yang dipertengkarkan, tidak perduli
sudah ada penyelesaianya atau belum, tak perduli siap salah siapa benar. Tetapi
hendaknya kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling
mengampuni, sebagaimana Allah dalam kristus telah mengampuni kamu (Ef. 4:32)
Strategi-strategi lain
untuk menyelesaikan konflik suami istri di ungkapkan oleh tokoh konselor
keluarga Tim Lahaye yaitu:
1.Kendalikan emosi dengan Roh Kudus
Manusia adalah makhluk emosional. Serumit dan seberagam
apapun dia, tidak ada yang lebih mempengaruhi pribadi seseorang secara
keseluruhan dibandingkan dengan emosi dalam diri. Jika seorang tidak baik
mengendalikan emosi, maka ia juga tidak baik dalam mengendalikan diri.
Kurangnya pengendalian diri menandakan bahwa Roh Kudus tidak memerintah dalam
dalam kehidupan seseorang. Tuhan berkata: “Sebab dalam hati orang timbul
pikiran jahat, percabulan pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan,
kejahatan, keleicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebala”.
(Mrk. 7: 21-22).
Ada dua sumber emosi
dalam hati orang kristen : “roh manusia” Paulus dan roh Allah – sifat rohani
yang baru yang masuk dalam hidup seseorang ketika ia lahir kembali karena iaman
dalam tuhan yesus kristus. Roh manusia adalah sumber emosi yang tidak tepat.
Dan roh yang kedua Paulus menyebutnya “manusia baru”, hanya bisa mengalami
emosi-emosi yang berguna. Ketika emosi yang kedua ini ditumbuh kembangkan,
emosi-emosi tersebut akan mengendalikan emosi alami seseorang.
Ketika seseorang
mementingkan diri sendiri, marah atau ketakutan, maka ini menunjukan roh
manusia mempengaruhi emosi orang tersebut. Dan ketika seseorang mengasihi, suka
cita, dan penuh damai sejahtera – terutama ketika situasi atau tempramen
menguasai dirinya, maka ia harus mengarahkanya pada arah yang berlawanan – maka
sifat baru (Roh Kudus) sedang mengawasi ia secara efektif. Orang katolik yang
dikendalikan Roh Kudus tidak pernah kehilangan pengendalian emosi. Mereka
mungkin mengalami pergolakan, emosional ditengah-tengah trauma dan penderitaan,
tetapi mereka dimampukan untuk mengatasinya. Paulus berkata “kami ditekan dari
segala arah tetapi tidak ditinggalkan”, inilah kemenangan dari anak-anak Allah
melalui pelayanan Roh Kudus yang tinggal dalam diri mereka.
Pasangan suami istri
akan lebih mudah membina komunikasi dan hubungan interpersonal dengan
pasanganya ketika suami istri tersebut dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang
dikendalikan Roh Kudus akan sangat berperan di saat sepasang suami istri
menghadapi konflik dalam rumah tangganya.
2.Menghindari
kritik
Semakin orang mengasihi orang lain, semakin ia
menginginkan pujian dari orang yang dikasihi. Sebaliknya, kritik dari orang
yang dikasihi merupakan hal yang menghancurkan. Untuk itulah daripada saling
menyalahkan, semua pasangan harus mempelajari seni memuji.. karena tidak ada
satupun yang lebih cepat merusak cinta daripada kritik yang terus menerus.
Kritik sama sekali
tidak akan membangun hubungan. Berilah pujian jika suami istri ingin cinta
diantara mereka berkembang. Terutama bagi suami. Jika ia gagal memuji istrinya,
maka istrinya akan mengembangkan citra diri yang tidak benar.
3.Terimalah tempramen pasangan anda
Dengan mempelajari
tempramen pasangan yang menikah akan mendapat berkat, yaitu penjelasan mengapa
seseorang membuat keputusan, menunjukan prasangka, atau memperlihatkan
pilihanya. Memahami tempramen akan membantu pasangan suami istri mengetahui
“mengapa” tetapi hanya Allah yang dapat membantu mereka dalam penyelesaian
konflik.
Pasangan yang
mengetahui tempramen masing-masing akan lebih mudah untuk menerimadan bekerja
sama daripada bertengkar karena perbedaan. Untuk dapat menerima tempramen
pasangan ini perlu menyadari hal-hal sebagai berikut:
a) Pasangan suami istri harus mengakui bahwa
masing-masing dari mereka mempunyai kelemahan.
b) Menerima fakta bahwa masing-masing pasangan
merupakan mempunyai kelemhan (tidak sempurna).
c) Hadapi kelemahamn masing-masing pasangan dengan
kasih.
d) Serahkan masalah itu kepada Allah.
e)
Bekerja sama
dengan kelemahan pasangan-jangan menentang-dan jangan pernah mengkritik apa
yang dilihat sebagai kelemahan tempramen.
Dalam menyelesaikan konflik, pasangan Kristen
katolik haruslah menutup dua pintu yang tidak diperkenankan oleh tuhan dalam
kehidupan perkawinan yaitu :
1.Pintu perceraian
Jika ada seorang
katolik perceraian bukanlah suatu alternative- kecuali pasangan tidak setia
itulah perkecualian yang diberikan oleh (Mat 19.9) selain ketidak setiaan tidak
ada alasan lain untuk bercerai.hal itu tidak berarti bahwa seorang wanita harus
tinggal bersama seorang pria yang kehilangan control karena marah, alcohol,
atau obat-obat dan memukuli dirinya.
Dalam kasus seperti itu
seorang wanita harus pergi kepengadilan dan mendapatkan perintah penahanan
untuk melindungi dirinya. Pria yang kejam perlu menyadari bahwa wakil-wakil
hokum akan melakukan penahanan. Terlepas dari perbedaan antara dua orang, Allah
bermaksud agar mereka tetap bersama-sama.
2.Pintu bagi orang ketiga
Cinta dalam perkawinan
berbeda dengan cinta paternal, yang membolehkan seseorang untuk memberikan
cinta kepada beberapa anak pada waktu yang sama. Karena tingginya aspek sksual
dalam perkawinan, maka hati manusia tidak dapat mencintai dua orang lawan jenis
secara adil. Kehadiran orang ketiga bukanlah dari Allah. Alkitab dengan jelas
mengatakan suami istri haruslah “menyenangkan pasanganya” setiap pasangan
katolik membutuhkan pertolongan Allah untuk membuat cinta dalam perkawinan
mereka tetap hidup, tetapi para pasangan tidak da[pat mengharapkan bantuan yang
hebat diluar ikatan kesetiaan.
Dalam menyelesaikan
konflik, pasangan Kristen katolik haruslah mengenakan Tujuh Moral Kristiani,
agar dalam proses penyelesaian konflik mereka menemuai jalan terbaik yang penuh
berkat. Tujuh moral kristiani tersebut adalah :
1. Kenakanlah belas kasihan
2. Kenakanlah kebaikan hati
3. Kenakanlah kerendahan hati
4. Kenakanlah kelemah lembutan
5. Kenakanlah kesabaran
6. Kenakanlah penguasaan diri
7.
Kenakanlah
pengampunan
Banyak pasangan terlalu
sombong, terluka, atau sakit hati untuk mengakui ketika mereka telah membuat
orang sakit. Tetapi Allah sendiri memerintahkan pengakuan dosa supaya
penyembahan kita di benarkan. Dia mengajarkan, “sebab itu, jika engkau
mempersembahkan persembahanmu di atas mizebah dan engkau teringat akan sesuatu
yang ada didalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di
depan mizebah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu (pasanganmu),
lalu untuk mempersembahkan persembahan itu ” (mat. 5: 23,24).
Membereskan luka hati
diantara pasangan sangat penting dimata Allah, sehingga ia menyatakannya
sebagai pengantar yang hakiki dari penyembahan. Setiap orang membutuhkan
pengampunan, tidak sekali, tetapi berkali-kali. Semua perkawinan yang
berbahagia mempunyai satu karaksteristik umum pengampunan. Tetapi ingatlah,
selalu lebih mudah untuk mengampuni jika orang yang berbuat salah meminta maaf.
Tetapi jika diperintahkan untuk mengampuni, baik orang lain meminta maaf atau
tidak, anda tidak dapat memutuskan apakah pasangan anda mengampuni, tetapi and
dapat memutuskan untuk diri anda sendiri.
Setelah konflik dapat
diredakan dan masalah dapat tersesaikan pasangan menyediakan diri untuk
berdamai dengan pasanganganya ini sangat penting untuk membina kerukunan di
masa selanjutnya. Alkitab mengatakan :
Segala kepahitan,
keraman, kemarahan, pertikaian,dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu,
demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap
yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah didalam
kristus telah mengampuni kamu. (Efesus 4 : 31-32)
Ketika pasangan menjadi
terganggu, tegang dan masing-masing merasa jauh satu sama lain saatnya untuk
mengambil keputusan “aku mau lebih mencintaimu”. Aku bertanggung jawab terhadap
baik buruknya relasi, karenanya aku harus berani mengambil inisiatif. Menunggu
berarti membiarkan diriku dicekam kesepian. Pengampunan tak bisa dipisahkan
dalam hubungan antar pribadi apalagi hubungan suami-istri. Semakin mendalam
hubungan itu semakin rentang untuk saling melukai. Mengampuni berarti
memulihkan hubungan, dan menatap kedepan.
1.Bersikap aktif bukan reaktif
Anda bertanggung jawab
atas relasi, maka bersikaplah aktif untuk memulihkan ketegangan atau
kerenggangan. Seringkali orang hanya menunggu, dan berharap pasangan memulai
sesuatu. “apa yang bisa saya buat agar relasi menjadi lebih baik” merupakan
pertanyaan pertama yang harus setiap hari muncul setiap menghadapi gangguan
relasi. Dengan demikian, anda bukan hanya bertanggung jawab, melainkan juga
menjadi pribadi yang mandiri dan bebas. Inilah tipikal pribadi yang dewasa,
yang sikap dan prilakunya tidak hanya sebagai reaksi atas prilaku orang lain.
2.Perilaku lebih penting daripada kata-kata
Kadang kala sulit untuk
memulai dengan kata-kata namun salah satu pasangan bisa memulai dengan
menawarkan perbuatan baik yang tertuju pada pasangannya. Menawarkan pada
pasangan seperti : (bagaimana kalau besuk makan bersama?), melaksanakan
kegiatan sehari-hari tanpa dipengaruhi suasana juga akan membantu untuk memulai
hubungan baik kembali. Cara-cara seperti ini menunjukan kepada pasangan bahwa
anda tetap mencintai-tanpa berkurang-setelah peristiwa yang tidak mengenakan
sekalipun. Masalah yang muncul bukan karena anda kurang mencintainya, melainkan
hal lumprah yang tak terelakkan dalam relasi suami-istri.
3.Pahami kebutuhan pasangan
Pengertian, kemesraan,
atau kebebasan? Hanya pasangan yang bisa memenuhi kebutuhan itu. Dengan
memenuhi kebutuhan pasangan berarti seseorang
melibatkan diri dan meyakinkan pasangan bahwa dia dibutuhkan. Ketegangan
dan kerenggangan dalam relasi sering kali bukan karena ada masalah melainkan
karena ada kebutuhan salah satu yang tak terpenuhi. Hal ini menimbulkan
perasaan negative yang tak terungkapkan, akibatnya suasana menjadi kaku dan
dingin.
4.Berkorban demi relasi
Berkorban tidak sama
dengan mengalah. Berkorban didasari oleh kesadaran dan kebebasan demi nilai
yang lebih tinggi. Setelah anda berdebat sengit dengan pasangan dan pendapat
anda yang akhirnya menang, namun anda tahu sebenarnya pasangan terluka
karenanya. Masalah memang sudah terpecahkan, namun suasana tetap tegang dan
tidak nyaman. Buanglah kemenangan anda dan beri perhatian pada pasangan. Untuk
sementara tak perlu membicarakan masalah yang baru saja diperdebatakan, tunggu
sampai pasangan mampu untuk mengatasi perasaannya.
5.Menikmati kesukaan berdua
Untuk mencairkan relasi
yang dingin karena suasana yang masih kaku akibat pertengkaran atau perbedaan
pendapat, anda salah satu pasangan harussssslah memulai hubungan dengan
melakukan kegiatan berdua yang bisaa anda lakukan. Misalnya, jalan-jalan, makan
di luar, dan lain sebagainya, yaitu kebisaaan-kebisaaan yang anda lakuakan
berdua selama ini tunjukan bahwa anda merindukan saat-saat kebersaan semacam
itu, anda sangat membutuhkan pasangan. Dalam pertengkaran yang paling terluka
adalah harga diri maka cara-cara ini bisa memulihkan harga diri.
6.Tegaskan bahwa anda mencintainya
Hal yang biasa jika
orang begitu gampang mengungkapkan cinta baik secara verbal maupun secara
nonverbal pada saat relasi sedang hangat, padahal justru pada saat-saat
sulitlah orang sangat membutuhkan ungkapan cinta. Disinilah pasangan ditantang bahwa cinta bukan sekedar perasaan,
melainkan komitmen yang terusmenerus harus ditegaskan khususnya pada saat
masa-masa sulit. “inilah saatnya aku lebih mencintai pasanganku.”
7.Tegaskan bahwa
pasangan kita lebih penting daripada
apapun
Tunjukan bahwa anda lebih
mementingkan pasangan daripada apapun pertengkaran atau ketegangan setiap saat
bisa terjadi, namun cinta anda terhadap pasanagan tidak boleh terhalang
karenanya. Lupakan sementara persoalan yang membuat relasi terganggu, mulailah
dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan pasanagan. Seringkali dalam relasi
yang hangat, persoalan bisa dengan mudah dipecahkan.
8.Ungkapkan maaf secara verbal
Seringkali orang sulit
meminta maaf, apalagi kalau merasa pendapatnya benar. Tidak perduli apakah
pendapatnya benar atau salah, yang jelas relasi terganggu. Kesalahan bukan pada
pendapat melainkan kenyataan bahwa pendapat itu “merusak” relasi maka pantaslah
meminta maaf. Katakana secara verbal tanpa alasan, “maafkan aku.” Kata maaf
sering tidak tulus, maka disertai keterangan.
9.Ungkapkan maaf secara non verbal
Di samping ungkapan
maaf tulus secara verbal kata maaf juga diungkapkan secara nonverbal melalui pelukan
atau rangkulan. Dengan demikian, jarak yang tercipta bisa dihilangkan melalui
kontak fisik yang kongkrit terasakan. Pelukan yang hangat dan cukup lama akan
memecahkan kebekuan dan mengalirkan daya kemesraan seolah-olah anda berkata
“jangan biarkan aku kesepian tanpa dirimu.”
10.Memaafkan itu menyembuhkan
Ketika anda
terluka oleh pasangan jangan anda mencari penyembuhan di luar diri anda dan pasangan
karena obatnya hanya dapat diperoleh dalam relasi. Memaafkan berarti anda
menyembuhkan diri sendiri, sekaligus memberi kesempatan pasangan untuk memasuki
diri anda kembali. Sebaliknya menyimpan dendam berarti membiarkan luka itu
semakin terinfeksi dan menggerogoti diri anda.
Tidak ada konflik yang
tidak bisa diselesaikan, semua itu tergantung dari pasangan yang berkonflik itu
sendiri. Mudah diselesaikan kalau mereka tidak keras kepala dan mau tunduk di
bawah firman Tuhan. Waktu dan kata-kata yang tepat termasuk hal yang bisa mempercepat
penyelesaian konflik, pasangan katolik haruslah selalu ingat firman tuhan
:Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di
pinggan perak, ” (Amsal 25 : 11 ).
Yostian Hadinata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar