Proklamasi Indonesia
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi,
atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dan tanggal 8 Ramadan 1364
menurut Kalender Hijriah, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi
oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Ir. Soekarno membacakan teks Naskah
"Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia" yang sudah diketik oleh
Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.
Pengeboman Kota Nagasaki dan
Hiroshima
|
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman
Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di
sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10
Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Dr. K. R. T Radjiman
Wedyodningrat
|
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada
Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena
Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan
Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini
melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut,
golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun
dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu,
mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka
menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian
Jepang.
Sutan Sjahrir
|
Wikana
|
Chaerul Saleh
|
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor
Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl
Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas
keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta
masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta
segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2
guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki
pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda
dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak
dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu
telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni,
dan Wikana terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim
gelar Datuk Tan Malaka tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan
kesabaran. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco
Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama
Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok,
yang kemudian terkenal sebagai
peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya
adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di
sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad
Mr. Ahmad Soebardjo
|
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor
Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat)
yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda
tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan
memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan
Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima
perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi
izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah
dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta
menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang
perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.
Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI,
mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu
Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura
agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira
penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya
wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju
rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna
melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta
yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju
kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta,
Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan
Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan
penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima
seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar
pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini
Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of
power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik
tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim
Nishijima masih didengungkan.
Sukarni B. M Diah Sayuti Melik Sudiro
|
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan
mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor
perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya
pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan
keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang
Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 -
04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi
Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi
ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti
Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan
disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah
dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo,
wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Soewirjo Wilopo Gafar Pringgodigdo Fatmawati
|
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera
namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh
seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang
prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul
dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah
Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera
berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
S. Brata
|
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan
Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan
Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di
tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang akan dibentuk kemudian.
Oto Iskandardinata
|
Isi Teks Proklamasi
Naskah Proklamasi Klad
Teks naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan
tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan
hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad
Soebardjo Djojoadisoerjo, yang isinya adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami
bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2
jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan
tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan
bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda.
B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan
menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden
Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992.
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Teks
naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan
naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh
Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan
Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut :
P R O K L A
M A S I
Kami
bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal
jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan
tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas
nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di
atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi
Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari
angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada
zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun
penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun
2605".)
Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad
dan Otentik
Di
dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu
sebagai berikut :
·
Kata
"Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
·
Kata
"Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
·
Kata
"tempoh" diubah menjadi "tempo",
·
Kata
"Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan
8 tahoen 05",
·
Kata "Wakil2
bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
·
Isi naskah
Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno
sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs.
Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi
naskah Proklamasi Otentik adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu
Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
·
Pada naskah
Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi
Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Klip suara naskah yang dibacakan oleh
Ir. Soekarno di studio RRI
Tempat Pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh
Ir. Soekarno yang pertama kalinya adalah di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta
Pusat, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari di mana diperingati sebagai
"Hari Kemerdekaan Republik Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon
(sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan
patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang
kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu
dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun
video, yang ada hanyalah dokumentasi foto-foto detik-detik Proklamasi.
Jusuf Ronodipuro
|
Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan
transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan
dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di
Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi
mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan
penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui
oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini.
Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat
dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga,
teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei
(sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi
dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan
F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali
berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang
Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi
telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan
penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F.
Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap
setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran
tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita
dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar
tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun
pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro
(seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan
bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan
Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan
DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan
berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir
seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat
berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat
berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers
antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga
disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster,
maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan
slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17
Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan
di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga
disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI.
Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi :
·
Teuku Mohammad
Hassan dari Aceh,
·
Sam Ratulangi dari
Sulawesi,
·
Ketut Pudja dari
Sunda Kecil (Bali),
·
A. Hamidan dari
Kalimantan.
Tokoh-Tokoh Peristiwa Proklamasi
Ir. Soekarno
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan
Darat—menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga
keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar
Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah
pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya
sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto
menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Nama
Ketika dilahirkan,
Soekarno diberikan nama Kusno oleh orangtuanya.Namun karena ia sering sakit
maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.
Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha
yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam
bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan
"su" memiliki arti "baik".
Di kemudian hari
ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi
Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda).
Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan
tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda
tangan setelah berumur 50 tahun. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung
Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara
Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini
terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat,
sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena
mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya
menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.
Sukarno menyebutkan
bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa
versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno,
dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi
luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia
oleh negara-negara Arab.
Dalam buku Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (terjemahan Syamsu Hadi. Ed. Rev.
2011. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN
979-911-032-7-9) halaman 32 dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno"
saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki
nama yang terdiri satu kata.
Kehidupan
Masa kecil dan remaja
Soekarno dilahirkan
dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu
Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan
seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan
keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden
Soekemi sendiri beragama Islam.Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama
Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika
kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama
kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti
orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan
Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian
pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan
ke
Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya
diterima di Hoogere Burger School (HBS).[6] Pada tahun 1915, Soekarno telah
menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya,
Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang
bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan
memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya,
Soekarno banyak bertemu dengan para
Soekarno sewaktu menjadi
siswa HBS Soerabaja
|
Tamat
HBS Soerabaja bulan Juli
1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno
melanjutkan ke Technische
Hoogeschool te Bandoeng (sekarang
ITB) di Bandung
dengan mengambil jurusan teknik
sipil pada tahun 1921, setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada
tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia
diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku
ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu
bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka
adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari
Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat
karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat
itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926.
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
·
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro
insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan.
Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan
jenis bangunan lainnya.
·
Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan
merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural Semasa Menjadi
Presiden
Semasa menjabat
sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai
Juli pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya
dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang
baru merdeka. Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga
merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan
di masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan
koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono,
dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural
juga dibuat melalui sayembara :
1. Masjid Istiqlal 1951
2. Monumen Nasional 1960
3. Gedung Conefo
4. Gedung Sarinah
5. Wisma Nusantara
6. Hotel Indonesia 1962
7. Tugu Selamat Datang
8. Monumen Pembebasan
Irian Barat
9. Patung Dirgantara
10.
Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan
ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk
melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah
Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada
tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i
menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf.
11.
Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang
diresmikan pada tahun 1957
Kiprah politik
Masa pergerakan nasional
Soekarno untuk pertama
kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya
pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan
hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat
pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan
sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan
kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar
Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1926,
Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil
inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.
Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29
Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk
dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin
dan pada tahun itu ia memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia
Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember
1931.
Pada bulan Juli 1932,
Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan
dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke
Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang
Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga
tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali
bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa
penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya
Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya,
pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan
tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam
setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk
Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat
Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta,
Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan
terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan
pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada
pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir
Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno
sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan,
mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang sebenarnya
kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD
1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah
proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943,
Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh
Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci)
kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat
pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga
tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus
1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan
Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya
dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh
Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah
persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
|
Setelah menemui
Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda
untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh
pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh.
Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini
disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun
Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan
mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno
menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya
tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci
kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin
kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi
presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19 September
1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa
Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang
yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan
Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison
akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha
menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan
pasukan NICA (Belanda) yang membonceng
Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan
gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena banyak
provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti
wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden
Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan
dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama
revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semipresidensiil/double
executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya
maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945
tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap
negara yang lebih demokratis.
Meski sistem
pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi
Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada
kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa
Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya
yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Soekarno dan Josip Broz Tito
|
Mitos Dwitunggal
Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan
terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet
yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden
Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai
"penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan
menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya
kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga
banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya
terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955,
mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang
menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota
Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang
ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban,
ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik juga
menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu,
banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya,
masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena
ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat
atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika
yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan
politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden
Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin
negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa Keterpurukan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu
setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965. Pelaku sesungguhnya
dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh
terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah
satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk
membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan
posisinya dalam politik.
Lima bulan kemudian,
dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani
oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil
tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi
presiden. Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat
menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI
dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan
dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi
TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai
pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden
berhalangan.
Soekarno kemudian
membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S
pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan
pada 22 Juni 1966. MPRS
kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato
"Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian
ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno
menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan
ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala
pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun
mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi
dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Sakit hingga meninggal
Makam Presiden Soekarno di
Blitar, Jawa Timur.
|
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai
berikut:
·
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan
kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
·
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir.
Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno
meninggal dunia.
·
Tim dokter secara terus-menerus berusaha
mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno
pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan
Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai
tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44
tahun 1970. Jenazah Soekarno
dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya
bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh
Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah
kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Drs. Mohammad Hatta
Bandar udara
internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya
sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta
juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan
Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun
1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan
sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23
Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/
Kehidupan awal
Latar belakang
Mohammad Hatta lahir
dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang keturunan aceh yang lama
menetap di Sumatera Barat. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di
Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya
berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama
Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar
berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Ia merupakan
anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah
dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran
agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai
ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu,
ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah
pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada
saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah
dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning
sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu.
Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang
anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Pendidikan dan pergaulan
Mohammad Hatta pertama
kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia
pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun,
pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,
kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum,
ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama
lainnya. Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap
perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota
Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.
Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik
School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud
akan ke Mekkah, dan pada kesempatan
tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar). Ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang
memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini
diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya. Menurut catatan
Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan
kepada Tuhan.
Keluarga
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan
Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah, mereka bertempat tinggal di
Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah
Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
Perjuangan &
pergerakan
1921-1932: Sewaktu di Belanda
Pergerakan politik ia mulai sewaktu
bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah di Handels
Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool,
sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah
di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereniging yang kemudian menjadi
organisasi politik dengan adanya
pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi
bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia
Merdeka. Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
Hatta (pertama dari kanan)
bersama para pengurus Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun 1925)
Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ
|
Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang
"Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan
Nasional" di Frankfurt. Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia namapak ingin
menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada
waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke
Indonesia lewat penyelundupan,
karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum
pergerakan yang dicurigai.
Pada 25 September
1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh
penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang
dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut (opruiing)
supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun
penjara. Mereka semua dipenjara di Rotterdam. Dia juga dituduh
akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih
cepat begitu berita ini tersebar.
Semua tuduhan
tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij)
pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara
penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya
berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang
bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan
dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.
Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta
mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana,
sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI.
Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan
dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras
kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini. PI di Belanda mengecam sikap Hatta
sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan
sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember 1931,
para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan
Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut
PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu
sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk
mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk
menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang
dan untuk memimpin PNI. Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir
dapat melanjutkan studinya.
1932-1941: Pengasingan
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk
kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP)
untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di
Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember 1932,
yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen. Ini dikarenakan ia
berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam
parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada
dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa
Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak
konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali
dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap
Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di
koran-koran Jakarta, dan
ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak
terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia
juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua
buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya
sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa
kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap
tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas
malaria. Apabila ia mau
bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya
diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli
terhadap kawannya yang kekurangan.
Di Digul, selain bercocok
tanam, ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut,
ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka
ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu,
ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain
itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian,
ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera
surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn.
Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk menemui Hatta
di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta
supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam
pembuangan.
Pada 1937, ia menerima
telegram yang mengatakan dia dipindah
dari Digul ke Banda Neira. Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan
Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di
situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu
digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam
dan menulis di koran "Sin Tit
Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti
pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis
di Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis
di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua
tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan
alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu
itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda
Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar
tata-buku dan sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar
kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua
orang kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah.
Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang
pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941,
Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya
rakyat Indonesia jangan memihak kepada
baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan
Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana, kelak
tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas
intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Sheisin di Tokyo pada November 1943.
1942-1945: Penjajahan Jepang
Pada tanggal 8
Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl
Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan
genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan
orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir
kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada
Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang
ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak
angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa
kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor
Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan
kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta
menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi
kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro).
Orang terkenal di masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang
bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak
mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh
pihak Jepang. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang
menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan
rakyat.
1945: Mempersiapkan Kemerdekaan Republik
Indonesia
Saat-saat mendekati
Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan
tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.
Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota
lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar
Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Kemudian pada
9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat
diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan
hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada
Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara
Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil
Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat). Penculikan itu dilakukan oleh
kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta.
Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen
Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak
adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi
kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden Pertama di
Indonesia
Pada 17 Agustus 1945,
hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama
Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56
Jakarta pk10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia
resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden
Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan
nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah
Linggajati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari
– 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6
Maret 1947. Dan pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli
1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia
masih berada di Pematang Siantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur
Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung
Hatta mengadakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga,
Hari Koperasi Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta
dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak menggoalkan persetujuan Renville
dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada
era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi
Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Suasana panas
waktu timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada
penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta
bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Di tahun
yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka.
Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan
Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili
Australia dan Cochran mewakili Amerika. Pada Juli 1949, terjadi kemenangan
Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah
perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag
sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita
miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas
kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan
dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung
Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan
di Jakarta. Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di
Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia
Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap
sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno
menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus
1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu
kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh. Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil
Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah yang berada di Jalan Medan
Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Di akhir tahun 1956,
Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan
unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan
gelar doctor honouris causa dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Sebenarnya
gelar doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar
tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas
Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta
belum bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60
tahun.”. Kemudian, pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan untuk berhenti
sebagai Wakil Presiden RI.
1956-1980: Setelah Pensiun
Setelah mundur dari
jabatannya, dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan
13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang
telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah
dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi
sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat
undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great
son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada
seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia
yang bukan lagi sebagai wakil presiden. Ketika Presiden Soekarno berada di
puncak kekuasaannya pada tahun 1963, Bung Hatta pertama kali jatuh sakit dan
perlu perawatan di Swedia karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.
Sekitar tahun 1965, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI.
Pada 31 Januari 1970,
melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut
masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI)
telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi.
Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo,
Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala
Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk
sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Bung Hatta dipercaya oleh Presiden
Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972,
Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah
Republik Indonesia.
Kemudian, di tahun
yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama
Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun
dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta.
Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof
Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk
memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat
lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung
Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali
mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari
Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian
gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara
langsung oleh Rektor Mahar Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut
merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta
semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih
mengikuti perkembangan politik dunia.
Wafat
Hatta wafat pada
tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah
sebelas hari ia dirawat di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di
rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan
terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di kediamannya
Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta
disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil
Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada
tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.
Mr. Ahmad Soebardjo
Awal mula
Achmad Soebardjo
dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret
1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad
Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku
Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk
Jambe, Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan
Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya
memberinya nama Teuku Abdul Manaf,
sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo
ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo
karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara
dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian
melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah
Meester in de Rechten (saat ini setara
dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa
organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada
bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil
Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli
gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan
pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin
nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya
ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16
Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lain,
membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah
agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa
ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan
kemerdekaan.
Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung
Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan
beragumentasi dengan para pemuda, dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun
segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik naskah
proklamasi.
Masa setelah kemerdekaan
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat
menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di
Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik
Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam
usia 82 tahun (15 Desember 1978) di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan
Nasional pada tahun 2009.
Fatmawati yang bernama asli Fatimah (lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 – meninggal
di Kuala Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun)
adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri
ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan
jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan
pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kehidupan
Makam Fatmawati di TPU Karet
Bivak, Jakarta
|
Pada tahun 14 Mei 1980 ia meninggal dunia
karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan
di Karet Bivak, Jakarta.
Soekarni, atau Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 dan meninggal di
Jakarta, 7 Mei 1971 pada umur 54 tahun.
Sukarni yang memiliki nama lengkap Soekarni
Kartodiwirjo, adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia. Gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh
Presiden Joko Widodo, pada 7 November 2014 kepada perwakilan
keluarga di Istana Negara Jakarta.
Kelahiran dan masa kecil
Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namanya jika
dijabarkan berarti "Su" artinya lebih sedangkan
"Karni" artinya banyak memperhatikan dengan tujuan oleh
orangtuanya agar Sukarni lebih memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu
masih dijajah Belanda. Sukarni merupakan anak keempat dari sembilan
bersaudara.
Ayahnya adalah
Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama
Supiah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa dikatakan berkecukupan jika
dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging di pasar Garum dan
usahanya sangat laris.
Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo
sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Sebagai anak muda,
Sukarni terkenal kenakalannya karena sering berbuat onar. Dia sering berkelahi
dan hobi menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-50 orang
teman-temannya dan mengirim surat tantangan ke anak muda Belanda untuk
berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah kolam. Anak-anak
Belanda menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni
memenangkan perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.
Menjadi Aktivis
Pergerakan
Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk
menjadi anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930.
Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia juga
sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.
Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan
dari sekolah karena mencari masalah dengan pemerintah kolonial Belanda.
Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin membara. Dia bersekolah ke Yogyakarta, dan kemudian ke Jakarta pada sekolah kejuruan
guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni
disekolahkan di Bandung jurusan jurnalistik.
Pada masa-masa di
Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus pengkaderan politik pimpinan Soekarno. Disinilah dia
bertemu dan mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti.
Tahun 1934 Sukarni berhasil
menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, sementara itu
Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun 1936 pemerintah kolonial
melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tapi Sukarni
sendiri berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.
Masa Pendudukan Jepang
Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni
tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke Samarinda. Namun, setelah
Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana malah
dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di
kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berubah
jadi Domei). Di masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu
dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak pembentukan partai Murba dan dia jugalah yang
menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi Ketua Umum.
Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Di tempat itu
Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan
Indonesia. Seperti diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal
sebagai salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh Angkatan 45.
Peristiwa Rengasdengklok
Mendengar berita
kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah dibawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa
inilah saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan
kelompok pemuda lainnya mendesak Soekarno dan Hatta, tapi mereka berdua
menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit yang berakhir dengan penculikan
kedua tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari
"pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu "diasingkan" ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda
yang dipimpin olehnya.
Seputar Proklamasi
Akhirnya semua pihak
kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera dilakukan
pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni
mengemban amanat kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya
dalam meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia
gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke
seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh
dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian
melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.
Di zaman RI
berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua
Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan menolak perundingan pemerintah
terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni dijebloskan ke penjara pada tahun
1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada masa
pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)
Menjadi Ketua Partai Murba
Semenjak partai Murba terbentuk pada bulan November 1948 sampai wafatnya,
Sukarni menjabat sebagai ketua umum. Dia juga duduk sebagai anggota Badan
pekerja KNI Pusat. Dalam pemilihan Umum yang pertama (1955) Sukarni terpilih
sebagai anggota Konstituante.
Sejak tahun 1961 Sukarni ditunjuk
sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, ibukota RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan kembali ke tanah air pada bulan Maret 1964. Konon dalam
pertemuan di Istana Bogor Desember 1964, Sukarni sempat
memperingatkan Bung Karno atas sepak terjang PKI. Tapi berlawanan
dengan harapan, partai Murba malah dibekukan tahun 1965 dan Sukarni beserta
pemimpin Murba lainnya di penjara.
Di masa Orde Baru, Sukarni dibebaskan
dan larangan Murba dicabut (direhabilitasikan 17 Oktober 1966). Kemudian Sukarni
ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1967) yang merupakan
jabatan resmi terakhir. Tokoh yang mendapat Bintang Mahaputra kelas empat ini wafat pada
tanggal 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara
kenegaraan.
Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik
(lahir di Sleman,
Yogyakarta, 22 November 1908 – meninggal
di Jakarta, 27 Februari 1989
pada umur 80 tahun), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati
dan aktifis perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.
Masa Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari
Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya
bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di
desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di
Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya
kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah
Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya
yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun
itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H.
Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang,
termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang
penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama
dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia
ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena
dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun
1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris
ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang
Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK
Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama.
Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat
di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2
ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu
terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan,
dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara
akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti
sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai
dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat
diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan”
Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu Soekarno
meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta
untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian
Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif
tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.
Anggota PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir.
Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah
21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang
termasuk didalamnya Sayuti Melik.
Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk
dalam kelompok Menteng 31, yang
berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa Rengasdengklok). Para pemuda
pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang
anggota PETA, dan pemuda lain,
membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9
bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah
agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad
Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk
tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.
Naskah Proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung
Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda,
Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung
Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dinihari 17
Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin.
Namun, para pemuda menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap seperti dibuat
oleh Jepang.
Dalam suasana tegang
itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi ditandatangani Bung
Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan
Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah
kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa
Indonesia".
Era Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia
Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun
1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh
Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut
terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah
Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda
dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia
diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan
menjadi Wakil Cendekiawan.
Menentang Sukarno
Sebenarnya Sayuti
dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti
justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan
Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme,
agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos,
dengan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia
juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS.
Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan
majalah dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan
Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti
melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.
Sutan Syahrir
Riwayat
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar
Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah
yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya menjabat
sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad)
di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka.
Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan
berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan
atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah
itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung,
Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya
menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam
klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek
huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja
Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis.
Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada
tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas
pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian
berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres
Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal
oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda
nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah
polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI
1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca
para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara
sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan
Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria
Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah
kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal
Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga
ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup
secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih
mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada
Sekretariat Federasi Buruh Transportasi
Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga
aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930,
pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional,
dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang
berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut
menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu
menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya
dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta,
keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan
pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
“
|
"Pertama-tama,
marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan,"
katanya.
|
”
|
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya
untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera
bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni
1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia
praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat
banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap
berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932,
segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru
sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis
pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru
justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan
mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan
organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban
namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke
arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada
Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian
membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu,
Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa
pembuangan selama enam tahun.
Masa pendudukan Jepang
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama
dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis.
Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum
pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul
jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang
tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa
progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir,
menulis:
“
|
Di bawah
kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan
subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya
saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.
|
”
|
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang
makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang
Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar
negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena
disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta.
Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan
dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno
dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang
sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan
aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta
yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif.
Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan
proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI,
kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para
pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang
dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun
menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Masa Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi menciptakan
atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga
sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna
mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya
yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan
Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda
kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan
dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu,
Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan
dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang
Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat
pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai
revolusi.
Tulisan-tulisan
Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak
berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada
persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan
bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk
menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu
akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam
Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas
hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan
dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang
menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar
Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu
disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk
menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang
memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi
gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Terbukti kemudian,
pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi
formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam
panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri
termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Penculikan
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa
yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi
Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat
merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan
pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%) yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan kabinet
yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor
Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan
Perjuangan bersama dengan Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri
Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas
aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan
kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan
dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi
3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara
Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno
marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di
Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol.
Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya
sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung
dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah
atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala
(koppig).
Kelak Let. Kol.
Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa
pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto
berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada
Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro.
Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan
pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta.
Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden
dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen
Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap
di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal
presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.
Diplomasi Syahrir
Perangko Sutan Syahrir 15
Rupiah
|
Syahrir mengakui
Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa
Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia
Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah
dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar
energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen
Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan
terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak
dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik
Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis,
Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet
Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP
sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem
multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik
pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa
rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat
tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik
Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah
suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme
pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa
orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh,
merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan
tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II.
Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran
kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar
negeri.
Ada satu cerita
perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung
Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu
NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram,
dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat
Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru
memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal
dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik,
ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun
akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947)
konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin
konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih
canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai
komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk
berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de
facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku
diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda
tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi
menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus
menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake
Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India
dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di
muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa
sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad
berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara
piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil
Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu,
Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan
kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga
Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian
Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap
gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai
kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung
yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda
dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai
wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di
kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama
wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat
kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili
Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi
Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar
sampai tahun 1950.
Partai Sosialis Indonesia
Selepas memimpin
kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar
Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai
alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional.
Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang
sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung
tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat
tiap manusia
Hobi dirgantara dan musik
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki
Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara,
pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan
kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik
klasik, di mana ia juga bisa memainkan biola.
Akhir hidup
Tahun 1955 PSI gagal
mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia.
Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai
akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap
dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu
Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan
dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkannya di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan
akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat (lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 – meninggal di Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia.
Pendidikan
Dimulai dengan model
pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat
mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian
atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas
sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan
mendapat gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah belajar di
Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.
Pilihan belajar ilmu
kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat
masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula ia secara khusus
belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu
banyak Ibu-Ibu yang meninggal karena melahirkan.
Sejak tahun 1934 ia
memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit
pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena dilanda wabah
penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah
berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai
Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.
Dr. Radjiman adalah
salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya pada
tahun 1914-1915.
BPUPKI
Dalam perjalanan
sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang
yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari
munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin
Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di
Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi
membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari
Boedi Utomo.
Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan
pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini
dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian
Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian
ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan
buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo,
Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa
Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam
sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak
Bangsa pencetus Pancasila.
Pada tanggal 9 Agustus
1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui
pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan
Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan
menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Wikana
Keluarga
Wikana terlahir dari
keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak,
Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa
penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. Bahkan salah seorang
kakanya, Winanta adalah seorang Digulis.
Pendidikan
Boleh dibilang Wikana
punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam
pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden
saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama.
Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS
Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa
muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung
Karno di Bandung.
Awal perjuangan
Pada masa mudanya ia
aktif sebagai Angkatan Baru Indonesia dan Gerakan Rakyat Baru. Semasa zaman
kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga
berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah
yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta.
Tak hanya sebagai
anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota
Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931
pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama.
Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai
organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Masa Revolusi Fisik
Wikana pada peristiwa
pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran paling penting karena berkat
koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah
dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Selain
itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung
Karno di Pegangsaan 56. Ia juga sangat
tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang
detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang
untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Karier Wikana jalan
terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di
pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah
dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara
urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa
yang dia buat semasa memegang jabatan itu.
Tapi jalan terang
hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai
Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto.
Setelah Revolusi Fisik
Bersama dengan
pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali
setelah DN Aidit melakukan pledoi
terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 Februari 1955.
Sampai tahun 1950-an
dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai
menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun
praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya
pada era-era awal revolusi. Revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana
tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif. Hal ini
sama dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex-Digulis oleh anak-anak
muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih
Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah
Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak
mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh
Aidit. Pada saat itu Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana
menjadi anggota MPRS.
Pemberontakan PKI
Beberapa pekan sebelum
peristiwa G30S 1965 terjadi, Wikana
berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri
perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari
tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI
disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk
tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur.
Dia sendiri memilih pulang ke tanah air.
Menghilang
Kurang dari setahun
setelah peristiwa G30S, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun
dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal
datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka
membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung
Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.
Chaerul Saleh
Latar belakang
Chaerul Saleh seorang
putra Minangkabau yang lahir dari pasangan Achmad Saleh dan
Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Ayahnya adalah seorang dokter yang sempat menjadi
calon anggota Volksraad. Pada usia dua tahun, orang tuanya bercerai dan ia
dibawa pulang oleh ibunya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Di usia empat tahun,
ayahnya membawa Chaerul ke Medan dan menyekolahkannya
disana. Setelah ayahnya berpindah tugas, ia bersekolah di Europeesche Lagere School, Bukittinggi. Lulus dari ELS ia
pindah ke Hogereburgerschool (HBS) di Medan.
Ketika sekolah di Medan
ia sering pulang ke Bukittinggi. Dan disinilah ia bertemu dengan Yohana Siti
Menara Saidah, putri Lanjumin Dt. Tumangguang yang kelak menjadi istrinya.
Karena dialah Chaerul pindah sekolah ke Batavia. Di Batavia dia
bersekolah di Koning Willemdrie atau HBS 5 tahun di Jalan Salemba. Kemudian dia
melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum, Jakarta (1937-1942).
Perjuangan
Pada masa Hindia-Belanda, Chaerul menjabat
sebagai Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Setelah Jepang masuk Indonesia, dia
menjadi anggota panitia Seinendan dan anggota Angkatan Muda Indonesia. Kemudian
ia berbalik arah menjadi anti-Jepang dan ikut membentuk Barisan Banteng serta
menjadi anggota Putera pimpinan Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansyur.
Chaerul merupakan
salah satu tokoh penting dibalik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersama Sukarni, Wikana, dan pemuda lainnya
dari Menteng 31, ia menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. Mereka menuntut agar
kedua tokoh ini segera membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada tahun
1946, Chaerul bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Kelompok ini
menuntut kemerdekaan 100% dan berdiri sebagai pihak oposisi pemerintah. Oleh
karenanya pada tanggal 17 Maret 1946, beberapa tokoh kelompok ini ditangkap
termasuk diantaranya Chaerul. Pada tanggal 6 Juli 1948, Tan Malaka mendirikan
Gerakan Rakyat Revolusioner dan menunjuk Chaerul Saleh sebagai sekretaris
pergerakan.
Setelah kematian Tan
Malaka, Chaerul bersama Adam Malik dan Sukarni berhimpun di dalam Partai Murba. Tahun 1950, Chaerul
memimpin Laskar Rakyat di Jawa Barat untuk menentang hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB). Ia kemudian
ditangkap oleh Abdul Haris Nasution dan dibuang ke Jerman. Disana ia kemudian
melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Bonn dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Pemerintahan
Pada bulan Desember
1956 sepulangnya dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Wakil
Ketua Umum Legiun Veteran RI. Satu tahun kemudian, ia masuk Kabinet Djuanda dan menjabat sebagai
Menteri Negara Urusan Veteran. Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis yang
cemerlang. Karena kepandaiannya itu ia beberapa kali menjadi orang kepercayaan
Presiden Soekarno, dan sebagai
penyeimbang tokoh-tokoh PKI di kabinet. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai
Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I. Di kabinet
berikutnya, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III Chaerul menjadi
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada tahun 1960 hingga 1966, ia
juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara.
Sebagai orang kepercayaan
Soekarno, Chaerul memiliki keberanian untuk menantang lawan-lawan politiknya.
Tanggal 3 April 1961, Chaerul berkeliling Sumatera Barat dan berpidato di muka
umum. Ia menentang para pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang dianggapnya
menyetujui hasil KMB.
Tahun 1963 kariernya
menanjak dan ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri III. Pada bulan April
1964, Chaerul terlibat dalam intrik kekuasaan. Ia mencoba untuk menduduki
posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Soebandrio. Perhitungannya
adalah jika Soekarno lengser maka ia yang akan naik menjadi Perdana Menteri.
Untuk menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri,
ia juga akan menyodorkan Adam Malik. Selain berusaha menggeser Soebandrio, ia
juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja naik menjadi Wakil Perdana
Menteri I. Untuk itu ia menginstruksikan Selo Soemardjan untuk membentuk
organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada masa itu selain
orang-orang Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan dirinya sebagai
pengganti Soekarno.
Untuk menjatuhkan
wibawa PKI di mata Soekarno, pada sidang kabinet di akhir tahun 1964 Chaerul
mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap
Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa
Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI
harus mengambil tindakan untuk merebut pimpinan revolusi. Pembahasan dokumen
itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember
1964. Disitu pimpinan PKI DN Aidit menuduh Chaerul telah membuat berita bohong dan
sebagai antek-Nekolim. Dari pertemuan itu kemudian terbit Deklarasi Bogor yang
meminta partai-partai politik untuk tetap setia kepada pimpinan besar revolusi,
Soekarno.
Dalam Gerakan 30 September, semula nama Chaerul
termasuk salah seorang tokoh yang akan diculik. Namun Aidit mencoret namanya
karena pada tanggal 30 September Chaerul sedang berada di Peking, China. Tanggal 18 Maret
1966, Chaerul Saleh ditahan oleh Soeharto tanpa melalui proses
peradilan. Ia dianggap sebagai menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang
pro-komunis. Ia meninggal pada tanggal 8 Februari 1967 dengan status
tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah ada penjelasan resmi dari
pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Bangunan-Bangunan yang berhubungan dengan
Proklamasi Indonesia
A.
Tugu Proklamasi
Tugu Proklamasi
|
Setelah
era reformasi, selain menjadi tempat yang spesial untuk acara peringatan Hari
Kemerdekaan RI tiap tahunnya, lokasi ini pun menjadi tempat pilihan bagi
berkumpulnya para demonstran untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya.
Lain
halnya ketika sore menjelang. Pada hari-hari yang biasa, para penduduk yang
tinggal tak jauh dari lingkungan taman ini kerap berkunjung ke Tugu Proklamasi
untuk berbagai aktivitas. Tempat ini menjadi tempat favorit anak-anak bermain,
arena berolahraga, tempat berkumpul dan bertemu, atau hanya untuk duduk-duduk
saja menghabiskan sore hingga senja datang.
Sejarah
Naskah
Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan untuk pertama kalinya oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman kediaman Soekarno Jalan
Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah ini, yang dulu disebut "Gedung
Proklamasi", sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960, Bung Karno menyetujui
usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah
tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana
Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.
Di
lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan
pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian
disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang
petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian
dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada
Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
Sekitar
50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya
pelaksanaan "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Hanya bangunan
ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada
sampai sekarang.
Di
antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe
Tahoen Repoeblik Indonesia"yang langsung terkait dengan nuansa revolusi
karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu masih berkuasa. Di
atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas
Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi
dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda
Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.
Kisah
tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku
"19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta", hasil
wawancara dengan Titiek WS. Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani
sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu
peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien
Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo).
Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab
dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School
(sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama
kawan-kawan lain.
Pada
menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang
peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr
Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan
terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).
Sutan
Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap
peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian,
memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan.
Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Peristiwa
mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan,
Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu
Linggarjati" harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian
Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan
diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk
mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.
Bersama
sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah
Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur
menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu Linggarjati.
Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos
Masdani.
Tahun
1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi
dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai
ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke
Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan
membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.
Akhirnya,
pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan
Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik.
Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta (mengundurkan diri 1
Desember 1956).
Pada
17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Soekarno-Hatta membacakan
naskah proklamasi.
B.
Museum Benteng
Vredeburg
Museum Benteng
Vredeburg adalah sebuah benteng yang terletak di depan Gedung Agung dan Kraton
Kesultanan Yogyakarta. Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah
bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.
Arsitektur
Benteng ini
dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu,
dengan dikelilingi oleh sebuah parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya
telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang. Benteng berbentuk
persegi ini mempunyai menara pantau (bastion) di keempat sudutnya.
Sejarah
Benteng
Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan
Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan
perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan
Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin
ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Melihat kemajuan
yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I,
rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada
sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan
tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan
sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya
adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di
dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan
lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa
fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan
dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan
untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi
Belanda.
Besarnya
kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap
perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan
oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk
pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda
untuk membangun benteng dikabulkan.
Sudut Barat Daya Museum
Benteng Vredeburg dengan tiga patok yang berfungsi untuk meletakan meriam
|
Menurut
penuturan Nicolas Hartingh, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat
sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari
kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu
dengan atap ilalang. Sewaktu W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas
Hartingh, pada tahun 1765 diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat
menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut
dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan
seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.
Pada awal
pembangunan ini (1760) status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam
penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolas
Hartingh, gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang.
Tahun 1765–1788
Usul Gubernur
W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih
disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode
penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.
Menurut rencana
pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya
proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787.
Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan
dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan
Kraton Yogyakarta. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan
tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti 'Benteng Peristirahatan'.
Pada periode ini
secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de
facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda.
Tahun 1788 – 1799
Periode ini
merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC).
Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh
Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi
milik pemerintah kerajaan Belanda.
Pada periode ini
status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de
facto dikuasai Belanda.
Tahun 1799–1807
Status tanah
benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng
secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah
Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.
Tahun 1807–1811
Pada periode ini
benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda).
Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara
de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Herman
Willem Daendels.
Tahun 1811–1816
Ketika Inggris
berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris di
bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat
Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik
kasultanan.
Tahun 1816–1942
Pada tahun 1867
di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan
beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu
Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan
tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan
di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang
semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng
Perdamaian'. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan
Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng
tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya
dibangun ruang penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Pintu gerbang
benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat
bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang
mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati
sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan paramedis. Disamping itu
pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan
para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena
kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.
Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke
waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan
Benteng Vredeburg.
Status tanah
benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah
Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat
berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya
benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada
Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa
Barat.
Masa Jepang
Tanggal 7 Maret
1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan
pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku
Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung).
Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di
pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng
Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu
benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang
Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang
berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi
kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang.
Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng
Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur
laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih
terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk
mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan
Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun
1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan
yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto
dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik
kasultanan.
Dari uraian itu
dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng
Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah
tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang
menentang Jepang.
Masa Kemerdekaan
1945-1970-an
Berita tentang
proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh
rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku
Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik
Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.
Sebagai
akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih,
perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan
Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti
yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun
fasilitas lain milik Jepang, Benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran
aksi.
Setelah benteng
dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada instansi
militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang
tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I
Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Oleh karena itu tidak
mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai
markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu, dan sebagainya.
Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan rumah sakit
tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah
sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.
Ketika tahun
1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan di saat perbedaan persepsi
akan arti revolusi yang sedang terjadi. Meletuslah peristiwa yang dikenal
dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan kudeta yang dipimpin oleh
Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang
terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan
Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di
Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi
Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu
dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda.
Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah
menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade
T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk
Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas
tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen), yaitu
dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg juga
difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan
senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya.
Ketika terjadi
Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi
salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda
seperti kantor pos, stasiun kereta api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan tangsi
Kotabaru. Kurang lebih 6 enam jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI
beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang didatangkan
dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan
melakukan perjuangan gerilya.
Setelah Belanda
meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan
Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada
Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah
mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang
kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi
Nasional” Pemberontakan G 30 S tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng
Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G
30 S yang langsung berada di bawah pengawasan Hankam.
Rencana
pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun
1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga
Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan
penelitian maka usaha ke arah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun
segera dimulai.
Tahun 1977–1992
Tiket masuk
Museum Benteng Vredeburg (2012)
|
Dengan
pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan
bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas
Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981.
Tentang
pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto (Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa
bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan
nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Piagam
perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16
April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung
di dalam kompleks benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai
sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan
kemudian dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum.
Tahun 1992 sampai sekarang
Melalui Surat
Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tanggal 23
November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan
Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Prasasti
peresmian Museum Benteng Yogyakarta oleh Mendikbud Fuad Hasan.
|
Selanjutnya
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM
48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta
mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus
merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan
Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan
pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil
penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
C.
Museum Perumusan
Naskah Proklamasi
Museum
Perumusan Naskah Proklamasi atau disingkat dengan Munasprok adalah gedung yang
dibangun sebagai monument peristiwa proses perumusan naskah proklamasi
kemerdekaan di Indonesia. Gedung luas tanah 3.914 meter persegi dan luas
bangunan 1.138 meter persegi itu pertama kali didirikan pada tahun 1920 dengan
gaya arsitektur Eropa. Di dalam gedung tersebut terdapat ruangan, mebel kuno,
dan aksesoris yang menggambarkan suasana serupa peristiwa perumusan naskah
proklamasi.
Sejarah
Sebelum
diaklamasi sebagai museum, gedung Munasprok pertama kali dikelola oleh
perusahaan asuransi bernama PT Asuransi Jiwasraya. Selanjutnya gedung itu diambil alih oleh
British Consul General pada Perang Pasifik hingga masuk Jepang mengambil alih.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda
Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan
Darat. Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi
tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda sampai Sekutu mendarat di
Indonesia, September 1945. Setelah kekalahan Jepang gedung ini menjadi Markas Tentara
Inggris. Setelah masa peperangan berakhir, gedung ini
dikontrak oleh Kedutaan Inggris
sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya gedung ini diterima oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada 28 Desember 1981. Tahun 1982, gedung ini sempat
digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran. Karena makna
historis yang dikandung museum tersebut, Menteri
Napak tilas
proklamasi. Suatu program yang rutin dilakukan tiap tahun yang
partisipannya sebagian berasal dari komite pengurus Munasprok.
|
Ruang-ruang dalam museum
Ruang Pertama
Ruang ini
merupakan tempat peristiwa bersejarah yang pertama dalam persiapan Perumusan
Naskah Proklamasi. Ruangan tersebut adalah ruang tamu yang juga digunakan
sebagai kantor oleh Maeda. Selain itu, di ruang ini juga digambarkan suasana
menjelang proklamasi seperti pembentukan PPKI dan BPUPKI, bom
Hiroshima-Nagasaki dan peristiwa lainnya.
Ruang Kedua
Dalam ruang ini
Soekarno-Hatta mengadakan rapat bersama di meja bundar dengan pengurus lain
seperti Soediro dan B.M Diah pada pukul 3 subuh. Di ruang ini juga lah Soekarno
membuat draft pertama naskah proklamasi dengan judul “Proklamasi” yang ditulis
dengan tangannya sendiri. Selain itu, dalam ruangan ini juga tergambarkan
suasana saat Soekarno mengumandangkan proklamasi di Jl. Pegangsaan timur.
Ruang Ketiga
Di ruang ketiga
terdapat piano di bawah tangga yang merupakan tempat di mana Soekarno-Hatta
menandatangi naskah proklamasi. Di ruangan ini pulalah Soekarno memutuskan
untuk membaca naskah proklamasi di halaman depan rumahnya. Selain itu, di
ruangan yang ke-3 terdapat gambar dengan suasana pergolakan saat mempertahankan
kemerdekaan.
Ruang Keempat
Ruang ke-4
adalah ruang pameran benda-benda yang dikenakan para tokoh yang hadir dalam
perumusan naskah proklamasi. Benda-benda tersebut meliputi jam tangan, pulpen
hingga baju-baju. Di samping itu, ruang keempat adalah ruangan di mana Sayuti
Melik ditemani dengan B.M. Diah mengetikkan naskah proklamasi setelah melakukan
proses pengeditan secara bermusyawarah.
D.Monumen
Nasional
Monumen
Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah
monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang
perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Pembangunan
monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden
Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai
lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan
yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan
Merdeka, Jakarta Pusat. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari mulai pukul
08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk
umum.
Setelah
pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya
berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno
mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara
Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas
bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa
revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat
patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Sejarah
Friedrich Silaban
|
R.M Soedarsono
|
Pembangunan
Pembangunan
terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 - 1964/1965 dimulai
dengan dimulainya secara resmi pembangunan pada tanggal 17 Agustus 1961 dengan
Sukarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama. Total 284 pasak
beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360 pasak bumi ditanamkan
untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung
pada bulan Maret 1962.
Dinding museum di dasar bangunan
selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk
kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963. Pembangunan
tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat terjadinya Gerakan
30 September 1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda.
Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada
museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi,
antara lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara resmi dibuka
untuk umum dan
Sukarno menginspeksi pembangunan
Monas.
|
Rancang Bangun Monumen
Rancang bangun
Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal
yang abadi; Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah
lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan
positif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan
obelisk adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan
negatif, serta melambangkan malam hari. Lingga dan yoni merupakan lambang
kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi sedari masa prasejarah
Indonesia. Selain itu bentuk Tugu Monas juga dapat ditafsirkan sebagai sepasang
"alu" dan "Lesung", alat penumbuk padi yang didapati dalam
setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan demikian rancang
bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Monumen terdiri atas
117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi The 17 meter, pelataran
cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia.
Kolam
di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25 x 25 meter dirancang sebagai bagian
dari sistem pendingin udara sekaligus mempercantik penampilan Taman Monas. Di
dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang
menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh
pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral
Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Pintu masuk Monas terdapat di taman Medan
Merdeka Utara dekat patung Pangeran Diponegoro. Pintu masuk melalui terowongan
yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk
pengunjung menuju tugu Monas. Loket tiket berada di ujung terowongan. Ketika
pengunjung naik kembali ke permukaan tanah di sisi utara Monas, pengunjung
dapat melanjutkan berkeliling melihat relief sejarah perjuangan Indonesia;
masuk ke dalam museum sejarah nasional melalui pintu di sudut timur laut, atau
langsung naik ke tengah menuju ruang kemerdekaan atau lift menuju pelataran
puncak monumen.
Relief Sejarah Indonesia
Pada halaman
luar mengelilingi monumen, pada tiap sudutnya terdapat relief timbul yang
menggambarkan sejarah Indonesia. Relief ini bermula di sudut timur laut dengan
mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan sejarah
Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum jam
menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis
menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan
pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang
memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II,
proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan
Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan Indonesia modern. Relief
dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan kerangka pipa atau logam, sayang
sekali beberapa patung dan arca mulai rontok dan rusak akibat hujan dan cuaca
tropis.
Museum Sejarah Nasional
Pelajar
memperhatikan diorama sejarah Indonesia
|
Ruang Kemerdekaan
Di bagian dalam
cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini
dapat dicapai melalui tangga berputar di dari pintu sisi utara dan selatan.
Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam
kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta
kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera
merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta
dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia.
Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam
pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4
ton berlapis emas dihiasi ukiran
bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang
melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di
tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang
Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu "Padamu Negeri" diikuti kemudian oleh
rekaman suara Sukarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5
ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi
berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan
dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh,
bendera suci ini tidak
dipamerkan. Sisi utara diding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara
berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua
itu sangat indah.
Pelataran Puncak dan Api
Kemerdekaan
Sebuah elevator (lift) pada pintu sisi
selatan akan membawa pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter
di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang
sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta
terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling
badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran
puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota
Jakarta. Bila kondisi cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat
dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara
membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.
Pelataran setinggi 115 meter
tempat pengunjung dapat menikmati panorama Jakarta dari ketinggian
|
Sebanyak 28 kg
dari 38 kg emas pada obor monas tersebut merupakan sumbangan dari Teuku Markam,
seorang pengusaha Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Yostian
Hadinata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar